Sabtu, 09 Januari 2010

Air Mata Para Pecinta Al-qur'an


Menangis di Saat Membaca aI-Qur'an

Di era modern ini, lantunan pembacaan al-Qur'an se­makin langka kita dengarkan; Berbagai aktivitas keaga­maan pun seperti tersingkir oleh hiruk-pikuknya kesibu­kan duniawi. Sungguh, lantunan pembacaan ayat-ayat aI-Qur' an itu kian jarang kita bisa temukan. Para qori' (pembaca al-Qur'an) - yang membaca dengan nada indah nan merdu, barang kali, sudah semakin jarang penerusnya. Jika kita diundang untuk menghadiri acara pernikahan, khitanan, tasyakuran, dan lain seba­gainya, mungkin kita dapat membedakan antara tempo dulu dan sekarang, yakni semakin punahnya acara yang dengan iringan keagamaan, salah satunya pem­bacaan kalam Ilahi ini.

Lantunan ayat al-Qur'an melalui pengeras suara dalam upacara pemakaman jenazah, saat ini, sudah membawa kesan biasa saja. Maksudnya, seseorang menghidupkan lantunan ayat al-Qur'an di dalam pengeras suara, hanya sebagai adat kebiasaan saja. Bagai­mana tidak, seharusnya dalam suasana yang demikian, orang akan terkesima, bersedih, bahkan menangis, saat mendengar lengkingan lantunan ayat-ayat al-Qur'an tersebut. Namun, yang terjadi di masyarakat kita bukanlah hal yang demikian. Aiih-alih menangis, yang terjadi malahan mereka sering kali bercanda dengan teman-temannya di saat mengunjungi rumah orang yang meninggal itu. Sepertinya, hati mereka telah mati.

Ketahuilah wahai saudaraku…..

Orang-orang yang khusyuk dalam membaca al-Qur'an dan memahami kandungannya akan tersenyum ketika membaca atau mendengarkan ayat yang me1ukiskan keindahan surga, dan meneteskan air matanya lantaran ayat yang ber­cerita tentang siksa neraka. Minimal, orang yang demi­kian ini akan ingat kehidupan sete1ah dunia, kemudian membayangkan dosa-dosanya yang kian menggu­nung, sedangkan amal ibadahnya masih sedikit. Allah berfirman:

"Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nub, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah rang Maha Pemurab kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis." CQS. Maryam [19J: 58).

Mengungkap pujian Allah Swt. terhadap pembaca al-Qur' an yang demikian itu, Ibnu Said berkata, "Makna 'mereka menyungkur sujud dan menangis' adalah mereka tunduk dan khusyuk kepada ayat-ayat Allah. Ayat-­ayat tersebut mengukirkan iman, pengharapan, dan kekhawatiran di dalam hati mereka. Sehingga, akan membuat hati mereka menangis dan bersujud kepada Rabb mereka." Sementara itu, al-Alusi berpendapat bahwa tangisan orang yang membaca al-Qur'an dika­renakan oleh rasa takut kepada siksa Allah, dan bisa tumbuh dari tafakkur yang terus berkembang. Jika demikian, maka para pembaca al-Qur'an dalam ajang MTQ atau dalam acara-acara sakral sperti tasyakuran, khitanan, pernikahan, dan lain seba­gainya yang tidak terkesima atau menangis oleh pesan yang dibacanya, haruslah belajar dan berusaha agar dapat dikatakan sebagai manusia yang khusyuk.

Jika Anda menginginkan kekhusyukan, mungkin, di suatu waktu harus belajar membaca al-Qur'an sen­dirian, tanpa seorang pun. Lebih-lebih, dalam keheningan malam. Bacalah dan resapi satu demi satu ayat­-ayatnya. Renungkanlah. Bisa jadi, Anda akan bercucuran air mata karena takut, atau karena menyesali segala perbuatan yang selama kita perbuat, yang penuh jalan kemaksiatan. Setelah itu, mintalah ampunan serta rahmat kepada-Nya. Akui se­gala kesalahan, dan berjanjilah tidak akan mengula­nginya lagi.

Dalam hal ini, Abdullah bin Mas'ud berkata, "Se­orang pengemban al-Qur'an seyogianya diketahui di malam hari saat orang-orang sedang tidur, diketahui di siang hari saat orang-orang tidak puasa, diketahui dengan kesedihannya saat orang-orang bergembira, dengan tangisnya saat orang-orang tertawa, dengan diamnya saat orang-orang banyak bergaul, dan dengan khusuknya saat orang-orang sibuk. Seorang pengem­ban al-Qur'an seyogianya banyak menangis, bersedih, santun, bijaksana, alim, dan banyak diam. Seorang pengemban al-Qur'an seyogianya tidak kasar, tidak lalai, tidak suka berteriak, tidak suka bersuara keras, dan tidak (berlidah) tajam."

Kemudian, Hasan al-Bashri membagi lantunan suara para qori' ini menjadi tiga golongan. Pertama, seorang qori' yang menjadikan bacaan al-Qur'an seba­gai barang dagangan; ia berpindah dari kota ke kota hanya untuk menukar bacaannya dengan sesuatu yang dimiliki oleh orang-orang (uang). Kedua, seorang qori' yang membaca aI-Qur' an dan menghafaI huruf-hurufnya, namun mereka menyia-nyiakan batasan-batasannya, menjilat para penguasa, dan menzhalimi penduduk negeri. Ketiga, seorang qori' yang membaca al-Qur'an, dia mulai dari ayat yang menjadi obat dan menem­patkannya di atas penyakit hatinya, sehingga mem­buatnya berjaga sepanjang malam seraya melelehkan air matanya.

Dari ketiga golongan para qori' di atas, kiranya dapat diketahui bahwa hanya golongan ketiga saja yang menempati maqam mulia di hadapan Allah Swt. Tangisan golongan ini hanya bisa terjadi ketika mereka membaca al-Qur'an sebagai obat hari. Menangisnya seorang pembaca al-Qur'an, menurut penururan Ab­dullah bin Mas'ud, lebih memungkinkan ketika dalam keadaan sendirian dan di tengah ke~eningan malam. Dengan demikian, ia akan terhindar dari perbuatan riya'. Rasulullah Saw., bersabda:

"Kebanyakan orang munafik umatku adalah quran"­nya." (HR. Ahmad dan Thabrani).

Nah, salah satu usaha untuk terhindar dari kemu­nafikan ketika membaca al-Qur'an adalah dengan ber­usaha menahan tangis ketika di hadapan orang lain, dan meneteskan air mata saat keadaan sepi lantaran hatinya bergetar hebat karena ingat akan Tuhannya.

Begitulah orang-orang yang khusyuk hatinya. Mereka menjadi cepat bergetar hatinya, dan mudah mengeluarkan air mata. Berbeda dengan orang-orang yang telah mati hati atau orang kafir, hatinya akan susah bergetar ketika dibacakan al-Qur'an. Mereka malah sering menertawakannya.

Allah Swt. berfirman:

"Maka apakah kamu merasa heran terhadap pem­beritaan ini? Dan kamu menertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu melengahkan(nya)?" (QS. an-Najm [53}: 59-61).

Memaknai kandungan ayat di atas, Ibnu Said mnulis, "Kalian buru-buru tertawa dan menertawa­kannya, padahal ia adalah sesuatu yang semestinya setiap jiwa terpengaruh dengannya, segala hati lembut karenanya, dan semua mata menangis disebabkannya; lantaran mendengar perintah dan larangan-Nya, mere­nungkan janji dan ancaman-Nya, serta memperhatikan berita-berita yang benar dan baik' (yang ada padanya).' Sementara itu, Syaikhul Islam menulis, "Tangisan ta­kutnya hati dan bergetarnya tubuh yang hadir saat berdzikir dengan dzikir yang khusyuk adalah keadaan terbaik, sebagaimana dijelaskan di dalam al-Kitab.

Adapun guncangan yang hebat, pingsan, dan pekikan di luar kesadaran, jika orang yang mengalaminya tidak menyadarinya, maka tidak tercela. Faktor penyebab­nya adalah kuatnya rasa yang datang, sementara hati masih lemah. Kuat dan bertahan tentu saja lebih baik, sebagaimana keadaan Nabi Muhammad Saw. dan para sahabat. Adapun diam saja karena keras dan keringnya hati, maka itu tercela."

Berkaitan dengan menangis ketika membaca al­Qur'an ini, al-Ghazali juga berkata, "Hukum mena­ngis saat membaca al-Qur'an adalah sunnah. Adapun cara menghadirkan tangis adalah hendaknya hatinya menghadirkan faktor penyebab tangisan, yaitu dengan merenungkan ancaman, siksaan, janji, atau tanggung jawab. Kemudian, memperhatikan kecerobohannya di dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya clan men­jauhi larangan-larangan-Nya. Dengan begitu, ia pasti bersedih dan menangis. Jika hatinya tidak dapat menghadirkan kesedihan dan tangisan seperti orang-­orang yang memiliki hati nan bening, hendaknya ia menangis karena kehilangan kesedihan dan tangis. Sebab, hal itu merupakan musibah yang paling besar.'

Para sahabat yang gagah berani pun seolah-olah menjadi "cengeng" ketika membaca maupun mendengar­kan lantunan ayat-ayat al-Qur'an. Umar bin Khathab, misalnya. Banyak yang meriwayatkan bahwa beliau sangat peka dan sensitif terhadap ayat-ayat al-Qur' an.

Ibnu Umar pernah mengatakan, "Aku pemah meager­jakan shalat di belakang Umar, dan aku dengar isak tangisnya dari shaf ketiga." Selain itu, Ubaid bin Umar juga mengatakan hal yang sama, "Umar pernah meng­imami kami shalat fajar (subuh). Umar membaca Surat Yusuf dari awal, ketika sampai pada ayat 84, Umar pun menangis sampai terputus bacaannya." Bunyi ayat

itu adalah:

"Dan Ya'qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: 'Aduhai duka citaku terhadap Yusuf,' dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya}." (QS. Yusuf (12}: 84).

Umar bin Khathab yang dulunya dikenal berpe­rangai kasar, keras, dan kejam, bisa menangis hanya -karena membaca kisah Yusuf yang hilang dan duka nestapa orang tuanya, hingga kedua kelopak mata orang tua Yusuf memutih lantaran menahan sedih. Umar tidak mampu menahan isak tangisnya karena terharu terhadap kisah yang dialami oleh Yusuf.

Lihatlah sang Amirul mukminin agung itu. Dahulu kala, sebelum ia masuk Islam, hatinya tak kenal sedih dan belas kasih melihat ratusan, bahkan ribuan istri menjanda. Ia juga tak pernah menghiraukan ratapan dan jerit-tangis anak-anak yatim karena ayahnya terbunuh di tangannya. Tetapi, setelah ia masuk Islam, hatinya begitu lunak, lembut, dan sensitif, bahkan terhadap kisah-kisah dalam al-Qur'an, Subhanallah!

Bagaimana dengan kita yang sejak lahir telah menjadi Islam oleh jasa-jasa orang tua kita? Sempatkah kita melunakkan hati, hingga menangis ketika menge­tahui penderitaan ibu kita yang pernah mengandung selama 9 bulan sepuluh hari? Pernahkah kita menangis karena membaca atau mendengarkan perintah dalam al-Qur'an yang mewajibkan kit a berbakti kepada kdua orang tua?

Saudaraku, ketahuilah, sesungguhnya cintanya orang tua kita tidak jauh berbeda dengan cintanya Nabi Ya'qub kepada Yusuf yang membuat Sayyidina Umar menangis tersedu-sedu. Tetapi, bagaimanakah kita merespon ayat-ayat al-Qur' an yang menyeru anak untuk berbakti kepada orang tuanya? Kita hanya diperintahkan untuk menegakkan sha­lat lima waktu, tetapi di samping kita sering melalai­kannya, mengapa justru kita sering bermaksiat kepada­Nya? Kita diberikan apa yang kita minta serta nikmat lain yang tak rerhitung jumlahnya, tetapi mengapa kita sering menggunakan pemberian-Nya tersebut untuk bermaksiat kepada-Nya? Bukankah ini semua sering kita baca dalam firman-firman-Nya?

Semoga renu­ngan pendek ini bisa membuat hati dan mata kita ber­kaca-kaca karena rasa takut kita kepada Allah melalui perintah-Nya yang tertuang dalam al-Qur'an,…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar